Remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup, kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu, sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit, banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri, banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang mandiri dari pengaruh orangtua, keduanya memiliki kesamaan yang jelas dan remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Sebenarnya, apa yang terjadi sehingga remaja dapat memiliki dunia tersendiri, mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami?
Masa Remaja
Sebenarnya, apa yang terjadi sehingga remaja dapat memiliki dunia tersendiri, mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami?
Masa Remaja
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas, pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah atau sedang mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa, ia belum siap menghadapi dunia nyata seperti orang dewasa lainnya meski di saat yang sama ia juga bukan anak kecil lagi, berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti, dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang, namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka, untuk dapat memahami remaja maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
Dimensi Biologis
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang, namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka, untuk dapat memahami remaja maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar, pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu dengan :
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu dengan :
> Follicle-Stimulating Hormone (FSH)
> Luteinizing Hormone (LH)
Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone : dua jenis hormon kewanitaan, sedangkan pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak, untuk anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif, selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone, bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak, kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya, kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan, para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri, mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan, dengan kemampuan operasional formal ini para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini, sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya yaitu operasional konkrit dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak, penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Pada kenyataan di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini, sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya yaitu operasional konkrit dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak, penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan, remaja mulai mempertanyakan dan mengasah pemikiran yang ada dalam mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya, secara kritis remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya, sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya, ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain, baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya, mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru, perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu, hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja, konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya, orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik, orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung, remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya, ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua, konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
Dimensi Psikologis
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya, mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru, perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu, hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja, konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya, orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik, orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung, remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya, ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua, konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama, perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah, meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri pada masa remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness), mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri, anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image), remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran, remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”, pada usia 16 tahun ke atas ke-eksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya, anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka, tindakan impulsif sering dilakukan sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab, rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja, kelak ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru” berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan, remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda, inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan.
Dalam hal kesadaran diri pada masa remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness), mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri, anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image), remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran, remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”, pada usia 16 tahun ke atas ke-eksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya, anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka, tindakan impulsif sering dilakukan sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab, rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja, kelak ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru” berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan, remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda, inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan.
Contoh : anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya, ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkahlaku. Bila ia merasakan peran itu tidak sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya “akan lebih sesuai”, begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan “sangat pas” dengan dirinya, proses “mencoba peran” ini merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat normal, tujuannya sangat sederhana ia ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri, ia tidak mau hanya menurut begitu saja keingingan orangtuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.
Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya, kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat, dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka, pada saat inilah kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat, orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Salah satu upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah melalui test-test psikologis atau yang di kenal sebagai tes minat dan bakat, test ini menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan alat tes itu, alat tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC, TAT, MMPI, Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain, alat-alat tes juga beredar luas dan dapat ditemukan di toko buku atau melalui internet misalnya tes kepribadian.
Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil test tersebut akan sangat luas, alat test psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya namun di tangan orang yang “bukan ahlinya” atau yang kurang bertanggung-jawab alat ini akan menjadi sangat berbahaya, alat test jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara menyeluruh oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup untuk mengartikan secara obyektif akan membuat kebingungan dan malah membawa efek negatif, akibatnya para remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes tersebut, oleh karena itu sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan test psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi Ijin Praktek (SRIP) sehingga dapat menjamin obyektivitas test tersebut.
Satu hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi untuk remaja sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingta bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat erat dengan perubahan, alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir yang cocok. Seringkali seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya konklusi yang diterima dari hasil test bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi, hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan mudah berubah.
Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media masa yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil-hasil yang di dapat dari test-test psikologi online melalui internet, harap diingat bahwa banyak diantara test tersebut masih sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang berbeda dengan diri yang asli.
Selain beberapa dimensi yang telah disebutkan diatas, masih ada dimensi-dimensi yang lain dalam kehidupan remaja yang belum sempat dibahas dalam artikel ini. Salah satu dari dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi sosial.
Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya, kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat, dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka, pada saat inilah kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat, orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Salah satu upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah melalui test-test psikologis atau yang di kenal sebagai tes minat dan bakat, test ini menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan alat tes itu, alat tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah WISC, TAT, MMPI, Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain, alat-alat tes juga beredar luas dan dapat ditemukan di toko buku atau melalui internet misalnya tes kepribadian.
Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil test tersebut akan sangat luas, alat test psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya namun di tangan orang yang “bukan ahlinya” atau yang kurang bertanggung-jawab alat ini akan menjadi sangat berbahaya, alat test jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara menyeluruh oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup untuk mengartikan secara obyektif akan membuat kebingungan dan malah membawa efek negatif, akibatnya para remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes tersebut, oleh karena itu sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan test psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi Ijin Praktek (SRIP) sehingga dapat menjamin obyektivitas test tersebut.
Satu hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi untuk remaja sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingta bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat erat dengan perubahan, alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir yang cocok. Seringkali seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya konklusi yang diterima dari hasil test bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi, hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan mudah berubah.
Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media masa yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil-hasil yang di dapat dari test-test psikologi online melalui internet, harap diingat bahwa banyak diantara test tersebut masih sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang berbeda dengan diri yang asli.
Selain beberapa dimensi yang telah disebutkan diatas, masih ada dimensi-dimensi yang lain dalam kehidupan remaja yang belum sempat dibahas dalam artikel ini. Salah satu dari dimensi tersebut diantaranya adalah dimensi sosial.
Beberapa Permasalahan Remaja
Reviewed by yogie kurniawan wijaya
on
09.53
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar